https://ejournal.ust.ac.id/index.php/LOGOS/issue/feed LOGOS 2024-02-03T03:56:32+01:00 Surip Stanislaus suripofmcap@yahoo.com Open Journal Systems <p>Jurnal <strong>Logos</strong> memuat artikel hasil penelitian tentang ilmu Filsafat dan Teologi yang dikaji secara empiris dan sesuai kaidah ilmiah sebagai refleksi kritis yang sistematis atas iman khususnya iman Katolik dengan fokus kajian Teologi, Filsafat, Kajian Sosial, Naluri dan Iman, Teknologi pada Teologi dan Filsafat, Pendidikan Agama dan kepercayaan tentang kebenaran pokok-pokok iman Katolik dalam terang wahyu Ilahi, yaitu tradisi dan Kitab Suci, selanjutnya mengenai pelaksanaan iman dalam hidup sehari-hari. Terbit 2 (dua) kali dalam setahun, Bulan <strong>Januari</strong> dan Bulan <strong>Juli </strong>oleh Fakultas Filsafat Universitas Katolik Santo Thomas . Majalah ini berorientasi pada Nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan ini dimaksudkan sebagai media untuk mengangkat dan mengulas pengalaman manusia dan religius berdasarkan disiplin ilmu filsafat dan teologi serta ilmu-ilmu humaniora yang terkait dengannya</p> https://ejournal.ust.ac.id/index.php/LOGOS/article/view/3413 "HOMO SOMATICUS" 2024-02-03T02:11:46+01:00 Leo Agung Srie Gunawan leoscj@gmail.com Laurentius Tinambunan lautan@kapusin.org <p><em>Homo somaticus</em> is the primary reality of human beings. Humans are recognized as such through their bodies and interact with both others and the world using their bodies. This article aims to argue for the existential importance of the human body. The article explores the nature and functions of the human body through the lens of phenomenology. <em>Homo somaticus</em> acknowledges that the human body possesses uniqueness among other creatures. As <em>homo somaticus</em>, humans have five fundamental body functions. Firstly, the worldly body signifies that humans are “beings-in-the world,” integrating with the world through their bodies. Secondly, the epistemological body indicates that humans acquire, assimilate, and convey knowledge through their bodies. Thirdly, the economic body suggests that the body becomes a determinant of possession, assuming the existence of a body. Fourthly, the ascetical body highlights the necessity of engaging in human activities to cultivate valuable virtues. Fifthly, the sexual body identifies the experiences shared by men and women, enabling biological reproduction and shaping social relationships. <em>Homo somaticus</em> underscores that the spirit is embodied, with the spirit being manifested through the body in the world. Nevertheless, the body is an integral part of human existence in the world</p> 2024-01-31T00:00:00+01:00 Copyright (c) 2024 https://ejournal.ust.ac.id/index.php/LOGOS/article/view/3414 "STAUROPHOBIA" : FEAR OF THE CROSS BASED ON HATE SPEECH AND SOME WAYS TO FACE IT 2024-02-03T02:20:54+01:00 Fransiskus Borgias fransis@unpar.ac.id Surip Stanislaus suripofmcap66@gmail.com <p>This article explores the phenomenon of <em>staurophobia</em>, “fear of the cross”. There are negative discourses toward Christians and Christ’s cross, called <em>staurophobia</em>. It is related to an attitude towards Christ, either accepting Christ on the one hand, or rejecting Christ, on the other. Since the beginning of Christian history in New Testament, the cross (<em>stauros</em>) has been a sign of contradiction. It becomes a stumbling block to non-Christians, while for Christians, it is a sign of salvation. What is Christian’s attitude, if, on the basis of <em>staurophobia</em>, non-Christians develop hate speech against them? New Testament gives us glimpses of answers that people should not cause violence. Based on the historical comparative study of some New Testament theological discourses, I propose that Christians should develop a calm socio politico theological attitude toward the negative discourses aroused by outsiders. I also endorse Christians to develop a sense of humour to confront such negative discourses on the cross and crucifix, as once practiced by Francis of Assisi in his encounter with Sultan Malik al-Kamil in Damieta, Egypt</p> 2024-01-31T00:00:00+01:00 Copyright (c) 2024 https://ejournal.ust.ac.id/index.php/LOGOS/article/view/3415 KESADARAN AKAN IDENTITAS MAKHLUK SOSIAL DALAM DIRI MANUSIA UNTUK MEMBANGUN PERSAUDARAAN DAN DIALOG “TANPA BATAS” 2024-02-03T02:30:38+01:00 Kornelius I. Viyo kornelius.viyoo@gmail.com Gonti Simanullang gonti.sim@gmail.com Robertus Septiandry robertusseptiandry21@gmail.com <p>Kenyataan pada diri manusia sebagai makhluk sosial harus disadari sebagai sebuah identitas yang melekat dalam diri manusia. Melalui kenyataan dan kesadaran ini, manusia dituntut untuk membangun persaudaraan “tanpa batas”. Bukan lagi melihat siapa manusia dalam batas kelompok tertentu, tetapi menyadari bahwa ia manusia yang memiliki hakekat yang sama di hadapan Pencipta. Persaudaran yang terbuka akan sekat-sekat dalam kehidupan manusia, memberi peluang berharga untuk terciptanya perdamaian. Karena persaudaraan tersebut, manusia diberi tanggungjawab untuk berjalan bersama dalam menciptakan perdamaian. Sinodalitas menjadi hal penting dalam diri manusia terlepas dari kesadaran akan identitas diri sebagai makhluk sosial. Inilah sebuah perubahan dari karakter diri manusia yang mementingkan diri sendiri menjadi manusia dalam hakikatnya sebagai makhluk sosial.</p> 2024-01-31T00:00:00+01:00 Copyright (c) 2024 https://ejournal.ust.ac.id/index.php/LOGOS/article/view/3416 HUBUNGAN ANTARA PEMAHAMAN ORANG TUA TENTANG KEWAJIBAN DAN HAK MENDIDIK ANAK TERHADAP PRAKTIK PENDIDIKAN ANAK 2024-02-03T02:44:08+01:00 Asrot Purba asrotj@gmail.com Yustinus Slamet Antono yustinov_ant@yahoo.com Largus Nadeak gonzales.nadeak@kapusin.org Benediktus Bagus Hanggoro benediktus.bagus9@gmail.com <p>Orang tua adalah pendidik yang pertama dan utama bagi anak-anak mereka. Gereja menetapkan dalam kanon 226, §2, bahwa orang tua memiliki tugas untuk mengusahakan pendidikan kristiani kepada anak-anak mereka. Gereja menetapkan norma-norma pelaksana kewajiban dan hak orang tua mendidik anak yang diwujudkan dalam pendidikan anak dalam keluarga, pemilihan sarana pendidikan dan hubungan dengan para pendidik lainnya. Penulis melihat ada kemungkinan bahwa pemahaman orang tua tentang kewajiban dan hak mendidik anak memiliki hubungan (korelasi) yang positif dan signifikan dengan praktik pendidikan anak. Untuk membuktikannya, Penulis mengadakan penelitian kuantitatif di Paroki Tirtonadi, Padang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman orang tua mengenai kewajiban dan hak mereka mendidik anak berkorelasi secara positif dan signifikan terhadap praktik pendidikan anak. Apabila orang tua memiliki pemahaman yang baik mengenai kewajiban dan hak mendidik anak, maka praktik pendidikan anak juga akan berlangsung baik. Namun apabila orang tua memiliki pemahaman yang tidak baik mengenai kewajiban dan hak mendidik anak, maka praktik pendidikan anak juga akan berlangsung tidak baik.</p> 2024-01-31T00:00:00+01:00 Copyright (c) 2024 https://ejournal.ust.ac.id/index.php/LOGOS/article/view/3417 GEREJA SEBAGAI PERSAUDARAAN YANG MENERIMA DAN MENGHADIRKAN KERAJAAN SURGA 2024-02-03T02:56:04+01:00 Marselinus Sudirman ara.very@yahoo.com Alfonsus Ara ara.very@yahoo.com Robertus Septiandry robertusseptiandry21@gmail.com <p>Pada hakekatnya Gereja bertugas mewartakan Kerajaan Surga di dunia ini. Untuk dapat menghadirkan Kerajaan Surga itu, Gereja seyogyanya membuka hati dan seluruh diri untuk menerima kehadiran Kerajaan Surga. Menjadi seperti anak kecil, yaitu sikap bergantung total pada kekuatan Allah, adalah tindakan yang cocok untuk menyambut Kerajaan Surga. Kekuatan Allah yang ada memotivasi Gereja untuk menghadirkan dengan pasti Kerajaan Surga ke dunia ini. Kehadiran Kerajaan Surga diwujudkan secara konkrit oleh Gereja membentuk hidup persaudaraan sejati. Ide persaudaraan ini muncul karena dalam Gereja itu sendiri belum terwujud hidup persaudaraan yang harmonis. Gereja seyogyanya menjalin relasi yang akrab dengan sesama saudara dan melihat saudara lain sebagai bagian dari dirinya. Dengan demikian terciptalah hubungan kasih antar-subyek. Perikop Matius 18:15-20 melukiskan bahwa bentuk persaudaraan tampak tatkala seorang saudara berbuat dosa, Gereja berusaha menegur saudara itu dalam kasih persaudaraan. Selain itu, bentuk persaudaraan diwujudkan juga dalam doa bersama, yang didalamnya Gereja dapat menggali akar permasalahan dan mencari solusi yang terbaik sehingga dapat tercipa hidup damai, adil dan penuh persaudaraan sebagai wujud kehadiran Kerajaan Surga.</p> 2024-01-31T00:00:00+01:00 Copyright (c) 2024 https://ejournal.ust.ac.id/index.php/LOGOS/article/view/3418 MISI GEREJA DI TENGAH KEBERAGAMAN AGAMA ASIA 2024-02-03T03:05:54+01:00 Dominggus Koro marmidiscj@gmail.com F.X. Marmidi marmidiscj@gmail.com Antonius Moa tolipung77am@gmail.com <p>Gereja diutus melanjutkan karya penyelamatan Kristus kepada segala bangsa, termasuk Asia. Dia Asia, Gereja termasuk kelompok minoritas. Misi Gereja yang relevan dengan konteks Asia menuntut Gereja harus berdialog. Karena manurut Aloysius Pieris agama-agama Asia memiliki inti soteorologis tersendiri. Pieris memandang perlu Gereja lokal Asia bersikap rendah hati. Gereja harus mengakomodasikan diri dalam religiositas non-Kritiani dan berpartisipasi dalam spiritualitas non-Kristiani. Evangelisasi yang integral harus diperjuangkan oleh Gereja, sehingga mamon sebagai musuh bersama dapat dilenyapkan.</p> 2024-01-31T00:00:00+01:00 Copyright (c) 2024 https://ejournal.ust.ac.id/index.php/LOGOS/article/view/3419 RELIGIOUS LIFE FUNCTIONING ON A SYNODAL CHURCH THROUGH CONTRIBUTION THEIR CHARISM IN INDONESIA 2024-02-03T03:18:02+01:00 Megawati Naibaho carolinekym79@stpdianmandala.ac.id Antonius P. Sipahutar parlin_nov@yahoo.com <p>This study aims to investigate the Religious Life functioning on a synodal Church through contribution their charism. By and large, Indonesia is a country of multi religions. Yet, Religious Life as a specific Institute of life has a place in the society. A number of Religious Congregations consist of priests, sisters, and brothers have successfully persevered and maintained its existence in Indonesia society. The Vincentian Congregation’s which one among the Religious Congregations who play an important role functioning on a synodal Church of the local Church through its charism. The long-term presence of Vincentian Congregation particularly in Indonesia can be reflected through their history of the Congregation since its foundation in the Netherlands and expanded in Indonesia. The discussion on this paper is allocated only the KYM Congregation and CMM Brothers. Both congregations strive to realize charism through works of service. However, it must be acknowledged that the Congregations experience various challenges in living out the Congregation's spirituality and their charity. In order to gather data and explore the problem more deeply, this research uses a case study and a qualitative method through a literature study. The aim this paper to share the spirit of synodality inherit founders of the KYM and CMM Congregations.&nbsp; Hopefully, the two Congregations are able to continue the spirit of synodality that has been bequeathed by the founders.&nbsp; The KYM Sisters and CMM Brothers are called to work for the greater glory of God and the benefits of His people, especially the poor and the marginalized. Then, their primary task is to show their love to God through their charitable works for all people, especially the needy and the least brethren.</p> 2024-01-31T00:00:00+01:00 Copyright (c) 2024 https://ejournal.ust.ac.id/index.php/LOGOS/article/view/3420 PERSEKUTUAN SEBAGAI PELEBURAN ONTOLOGIS ANTASUBJEK MENURUT GABRIEL MARCEL 2024-02-03T03:27:42+01:00 Gregorius Suripto uripofmcap66@gmail.com Surip Stanislaus suripofmcap66@gmail.com Petrus J.T. Dim petrusjuniscotimordadim@gmail.com <p>Manusia adalah makhluk yang berada sebagai <em>a social being. </em>Gabriel Marcel menyebutnya dengan istilah <em>esse est co-esse</em>. Manusia mengungkapkan eksistensinya bersama dengan yang lain. Kenyataan <em>esse est co-esse </em>selalu diuji dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan tersebut pada awalnya membantu manusia tetapi akhirnya “membutakan” manusia terhadap kesadaran akan eksistensinya dan mengikis persekutuan. Gabriel menggemakan kembali hubungan aku-engkau dengan jalan membentuk persekutuan atas dasar cinta. Melalui persekutuan manusia terbuka terhadap yang lain dan mengakui eksistensinya. Persekutuan mempunyai unsur kemanusiaan, antara lain: komunikasi, kesetiaan, harapan dan cinta. Dengan unsur-unsur tersebut manusia diharapkan mampu mencapai kepenuhannya, yakni hidup dalam persekutuan cinta.</p> 2024-01-31T00:00:00+01:00 Copyright (c) 2024 https://ejournal.ust.ac.id/index.php/LOGOS/article/view/3421 PENGHAYATAN TEPO SELIRO DALAM BUDAYA JAWA DI INDONESIA SEBAGAI SUMBANGSIH BAGI DUNIA MASA KINI UNTUK MEMBANGUN PERSAUDARAAN UNIVERSAL 2024-02-03T03:38:44+01:00 Fransiskus Asisi Satria Rudi Pratama suripofmcap66@gmail.com Surip Stanislaus suripofmcap66@gmail.com Yustinus Slamet Antono yustinov_ant@yahoo.com <p>Dunia zaman sekarang sedang mengalami krisis moralitas. Dampak buruk dari krisis moralitas menimbulkan masalah sosial, seperti kesenjangan dan ketidakadilan sosial. Secara kongkrit, masalah sosial ini tampak dalam adanya sikap-sikap manusia untuk memanipulasi nilai luhur kehidupan, eksploitasi sosial serta lumpuhnya relasi sosial, semakin lama manusia jatuh pada sikap individulisme. Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki martabat, hak dan kewajiban yang sama untuk mengembangkan hidup bersama. Salah satu usaha untuk, membangun hidup bersama adalah menerapkan <em>Tepo</em> <em>Seliro</em>. Melalui penerapan <em>Tepo</em> <em>Seliro</em>, Setiap orang diajak untuk membangun dunia masa kini dalam persaudaraan universal. Hal ini dapat diwujudkan melalui sikap keluar dan diri sendiri, menumbuhkan kasih yang terbuka, melampaui kepentingan dan status sosial serta menciptakan kebaikan bersama. Melalui sikap-sikap seperti itu, maka semua manusia dapat bekerja sama untuk mengembangkan hidup bersama secara adil dan bermartabat.</p> 2024-01-31T00:00:00+01:00 Copyright (c) 2024 https://ejournal.ust.ac.id/index.php/LOGOS/article/view/3422 PENGALAMAN UMAT KATOLIK DI KEUSKUPAN PADANG AKAN BELAS KASIH ALLAH DALAM SAKRAMEN TOBAT 2024-02-03T03:56:32+01:00 Yohanes Anjar Donobakti johanesadb2015@gmail.com Thery Cholma Bancin therykomez@gmail.com Raidin Sinaga richsinaga@gmail.com <p>Sejak semula, Allah telah mewahyukan Diri-Nya sebagai Allah yang penuh belas kasih. Belas kasih Allah itu terpenuhi dalam pribadi Yesus Kristus. Karya dan pelayanan belas kasih Allah dalam diri Yesus situ dilanjutkan oleh Gereja, terutama lewat Sakramen Tobat. Sebab, sama seperti Yesus telah mengutus para rasul, demikian juga Gereja diutus untuk mewartakan belas kasih Allah kepada dunia. Hal ini terjadi agar dunia dapat merasakan belas kasih Allah secara nyata. Sakramen Tobat adalah salah satu bentuk pelayanan Gereja agar umat beriman dapat memahami dan mengalami belas kasih Allah. Dalam sakramen ini, belas kasih Allah terungkap lewat pendamaian dan pengampunan dosa. Dengan adanya pendamaian dan peng­ampunan dosa, manusia pun diterima kembali oleh Allah dengan seluruh keberadaan dirinya sebagai ungkapan nyata akan belas kasih Allah.&nbsp; Atas dasar inilah Gereja kembali menegaskan bahwa Sakramen Tobat tidak boleh dilaksanakan hanya sebagai kewajiban seremonial religius belaka. Sakramen ini juga menuntut adanya kesadaran dan niat tulus yang tumbuh dalam diri umat beriman untuk bertobat dan mengalami pengalaman spiritual akan hadirnya belas kasih Allah yang menyelamatkan dan membebaskan umat beriman dari situasi keberdosaannya. Perayaan sakramen ini hendaknya membawa umat beriman pada kesempatan untuk hidup lebih baik di hadapan Tuhan dan sesama.</p> 2024-01-31T00:00:00+01:00 Copyright (c) 2024