https://ejournal.ust.ac.id/index.php/LOGOS/issue/feedLOGOS2024-07-27T10:28:18+02:00Surip Stanislaussuripofmcap@yahoo.comOpen Journal Systems<p>Jurnal <strong>Logos</strong> memuat artikel hasil penelitian tentang ilmu Filsafat dan Teologi yang dikaji secara empiris dan sesuai kaidah ilmiah sebagai refleksi kritis yang sistematis atas iman khususnya iman Katolik dengan fokus kajian Teologi, Filsafat, Kajian Sosial, Naluri dan Iman, Teknologi pada Teologi dan Filsafat, Pendidikan Agama dan kepercayaan tentang kebenaran pokok-pokok iman Katolik dalam terang wahyu Ilahi, yaitu tradisi dan Kitab Suci, selanjutnya mengenai pelaksanaan iman dalam hidup sehari-hari. Terbit 2 (dua) kali dalam setahun, Bulan <strong>Januari</strong> dan Bulan <strong>Juli </strong>oleh Fakultas Filsafat Universitas Katolik Santo Thomas . Majalah ini berorientasi pada Nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan ini dimaksudkan sebagai media untuk mengangkat dan mengulas pengalaman manusia dan religius berdasarkan disiplin ilmu filsafat dan teologi serta ilmu-ilmu humaniora yang terkait dengannya</p>https://ejournal.ust.ac.id/index.php/LOGOS/article/view/3946AGAPE VS PHILIA? THOMAS AQUINAS TENTANG CINTA-KASIH, PERSAHABATAN, DAN KEADILAN2024-07-27T09:32:03+02:00Heribertus Dwi Kristantodwikris@diryarkara.ac.idSurip Stanislaussuripofmcap66@yahoo.com<p>Many Christian writers think of Christian <em>agape</em> love as incompatible with Greek philosophical tradition of love, known as <em>philia</em> (friendship). <em>Agape</em> is seen as a kind of love that is non-preferential, inclusive, altruistic and without regard to self-interest, whereas <em>philia</em> is regarded as a kind love that is preferential, exclusive, egocentric and reciprocal in nature. <em>Agape</em> is thought to have eclipsed <em>philia</em>. Then, in the spirit of <em>agape</em>, justice is understood as impartiality or treating everybody equally. This essay aims to show that according to St. Thomas Aquinas Christian <em>agape</em> love or charity (Latin: <em>caritas</em>) is not only compatible with <em>philia</em> (Latin: <em>amicitia</em>) but instead can be understood as “a friendship between man and God”. As a friendship, charity incorporates essential elements of <em>philia</em>, such as benevolence, mutual love, and some life sharing (<em>communicatio</em>). Perceived as grace, charity acknowledges the presence of order (<em>ordo caritatis</em>), in which justice does not necessarily amount to ‘giving to each the same thing’ (i.e., impartiality), but rather ‘giving to each according to his needs’.</p>2024-07-27T00:00:00+02:00Copyright (c) 2024 https://ejournal.ust.ac.id/index.php/LOGOS/article/view/3947ALLAH ADALAH CINTA, CINTA YANG RELA MENGABDI DAN MEMBERIKAN DIRI DEMI KESELAMATAN DAN KEHIDUPAN MANUSIA2024-07-27T09:39:34+02:00Alfonsus Araara.very@yahoo.comLargus Nadeakgonzales.nadeak@kapusin.orgGonti Simanullanggonti.sim@gmail.com<p>Cinta selalu didambakan, dipuja dan diperbincangkan, baik dalam ruang keluarga maupun dalam ruang publik. Kekuatan cinta dilukiskan dalam aneka rupa dan nuansa, baik dalam buku, lagu, puisi, film, sastra maupun Kitab Suci. Inti yang diperbincangkan berpusat pada tiga hal utama, yaitu: “Apa, Mengapa dan Dari Manakah Datangnya Cinta?. Dalam filsafat Yunani, cinta dimengerti sebagai hasrat asali yang melekat pada manusia, yaitu hasrat untuk memuaskan keinginan sendiri (<em>eros</em>). Namun cinta manusiawi tersebut bersumber dari cinta Ilahi (<em>agape</em>). Dalam Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru diwahyukan bahwa cinta adalah hakekat/kodrat Allah: Allah adalah Cinta. Allah menciptakan alam semesta dan manusia (ciptaan-Nya yang termulia) dari isi cinta-Nya sendiri. Allah menanamkan isi cinta-Nya dalam diri manusia; Allah menghendaki agar manusia menjadi insan pencinta dan penyalur cinta-Nya kepada dunia supaya kehidupan semua ciptaan-Nya di dunia, terutama kehidupan manusia dilandaskan dan dijiwai oleh cinta. Cinta Allah adalah cinta yang rela mengabdi dan memberikan diri demi keselamatan dan kehidupan semua ciptaan-Nya, terutama manusia. Jika Allah adalah Cinta dan manusia diciptakan dari isi cinta Allah, maka cinta seharusnya menjadi tindakan khas yang melekat pada kodrat Allah dan manusia sendiri. Jika kodrat Allah dan manusia adalah cinta, maka patut dipertanyakan: “Bukankah aneka bentuk kebencian, kekerasan dan balas dendam adalah tindakan yang bertentangan dengan kodrat Allah dan manusia sendiri?</p>2024-07-27T00:00:00+02:00Copyright (c) 2024 https://ejournal.ust.ac.id/index.php/LOGOS/article/view/3948KEMARTIRAN: JALAN MENUJU PERSATUAN DENGAN YESUS KRISTUS2024-07-27T09:46:34+02:00Sihol Situmorangfransit@yahoo.comSilvanus Ekovanusil@gmail.com<p>Pada zaman Santo Ignatius, Uskup Antiokia, Gereja sungguh berjuang untuk membela dan mempertahankan imannya. Umat Kristiani dipaksa untuk menyangkal imannya dan dihadapkan ke pengadilan. Sebagian besar dari mereka tetap kukuh mengakui iman mereka kendati harus menanggung kemartiran. Ignatius memandang kemartiran sebagai bukti kesetiaan dan persembahan diri secara utuh kepada Allah dengan menjadikan dirinya sebagai gandum yang digiling agar menjadi roti murni. Bagi Ignatius, kemartiran merupakan bentuk pemuridan total dan jalan mencapai kesempurnaan mengikuti jejak Kristus. Penghayatannya akan kemartiran terkait erat dengan pemahamannya perihal Ekaristi yang menghantarnya pada persatuan dengan Allah dalam Kristus.</p>2024-07-27T00:00:00+02:00Copyright (c) 2024 https://ejournal.ust.ac.id/index.php/LOGOS/article/view/3949BERKOMUNIKASI DENGAN KEBENARAN2024-07-27T09:51:31+02:00Mikael Galih Pradanamikaelgalih792@gmail.com<p>The emergence of social media has transformed the communication landscape, enabling rapid information exchange but also carrying serious risks related to the spread of hoaxes and fakenews. The Church, as a moral institution, responds to this phenomenon by prioritizing truth and honesty incommunication. In addressing this challenge, the Church presents a theological perspective emphasizing the importance of maintaining communication integrity and affirmingthe value of truth as a fundamental principle. Pope Francis highlights the importance of usingthe internet and social media wisely, preserving ethics and morality. Communication ethicsbecomes a crucial focus in the context of social media, with an emphasis on the principle oftruth correspondence and avoiding the spread of hoaxes. The Church’s theological messageasserts that lies damage human relationships with God and others, and warns of its social and spiritual consequences. The example of Jesus Christ inspires Christians to live in truth and communicate with love and justice. Through the guidance of the Holy Spirit, Christians are expected to express truth with courage and wisdom. Thus, the Church offers a holistic view and moral solutions in addressing the problem of hoaxes and falsehoods spread on social media.</p>2024-07-27T00:00:00+02:00Copyright (c) 2024 https://ejournal.ust.ac.id/index.php/LOGOS/article/view/3950SYNODALITY: TOWARD ECUMENISM AND INTER-RELIGIOUS DIALOGUE2024-07-27T09:58:29+02:00Higianes Indro Pandegohigianesindro.pandego.eccle@ust.edu.phiYustinus Suwartonoyustinus.suwartono.eccle@ust.edu.ph<p>Encounter, listen and discern! These three messages from Jesus are for spreading the gospel. He leads the Twelve and his followers in contact with the Holy Trinity and with humanity. The Church continued the Kingdom of God's mission to rule the globe. The synod is called upon by the authority of the Church to uphold and carry out the faith, moral doctrine, and disciplines of the Church. Additionally, the church moves forward in a synodal spirit. With churches and ecclesial communities, the Church fosters ecumenism. She also fosters interfaith dialogue with other religions. And the Basic Ecclesial Communities, which are preval_ent among the population, are the most significant element in this style of life.</p>2024-07-27T00:00:00+02:00Copyright (c) 2024 https://ejournal.ust.ac.id/index.php/LOGOS/article/view/3951LUK 24:13-35 DAN TEOLOGI SINODALITAS2024-07-27T10:04:15+02:00Nathanio C. Maranatha Bangunnathanioooo.bangun@gmail.comF.X. Marmidimarmidiscj@gmail.comSurip Stanislaussuripofmcap66@yahoo.com<p>This study seeks to explore how the Gospel of Luke 24:13-35 embodies a theology of synodality. The theology of synodality has become a central focus in the life of the Catholic Church today, particularly since Pope Francis highlighted its importance in the third millennium. Synodality, etymologically meaning "walking together" (synodos), is based on three main pillars: communion, participation, and mission among all Church members. In this context, the passage from Luke 24:13-35, which describes the journey to Emmaus, offers rich, profound, and relevant insights to enhance and deepen the theology of synodality. This article aims to analyze this passage using both synchronic and diachronic approaches, examining the writings of the Church Fathers, Church documents, and Church history. The results of this analysis will then be engaged in dialogue with the theology of synodality to explore its relevance and potential contributions to this theological framework.</p>2024-07-27T00:00:00+02:00Copyright (c) 2024 https://ejournal.ust.ac.id/index.php/LOGOS/article/view/3952MEMAHAMI ‘Theosis’ DALAM RANGKA TRANSFORMASI DIRI MELALUI EKARISTI DAN SINODALITAS2024-07-27T10:09:19+02:00Thomas Galih Joko Riyantothomasgalih02@gmail.com<p>Sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, konsep Theosis merupakan salah satu ajaran penting yang harus diketahui. Konsep ini merupakan tujuan akhir hidup manusia, yaitu menyatu dengan Tuhan. Menyatu dengan Tuhan adalah sebuah ajakan agar seseorang dapat mengambil bagian dalam kehidupan-Nya. Artikel ini menawarkan salah satu cara untuk bersatu dengan Tuhan, yaitu melalui Ekaristi dan Sinodalitas. Ekaristi adalah puncak pengharapan dan iman bagi umat Kristiani. Sinodalitas menjadi tindakan nyata yang harus dilakukan agar hidup dalam Tuhan. Hidup dalam Tuhan berarti saling mengasihi dan hidup dalam terang, dan akhirnya menjadi gambar Tuhan. Tidak ada manusia yang dapat mengalami Theosis jika tidak tinggal di dalam Tuhan, menjadi gambar Tuhan dan menyucikan diri dari segala godaan duniawi.</p>2024-07-27T00:00:00+02:00Copyright (c) 2024 https://ejournal.ust.ac.id/index.php/LOGOS/article/view/3953KETAATAN YUSUF DALAM MENANGGAPI PERINTAH TUHAN2024-07-27T10:16:19+02:00Surip Stanislaussuripofmcap@yahoo.comDoni Xaveriusxaveriusdoni@gmail.com<p>Konsili Vatikan II menyatakan, “Kepada Allah yang menyampaikan wahyu manusia wajib menyatakan ketaatan iman.” Yusuf adalah teladan bagi kita dalam ketaatan iman secara total kepada Allah. Ketaatan iman itu diawali dengan mendengarkan sabda dan perintah Tuhan, mempercayai dan mematuhinya dengan segenap hati. Yusuf pun seorang yang taat pada hukum Taurat. Ia mengalami dilema ketika Maria, tunangannya, mengandung, karena menurut Ul 22:23-27 hukumannya dirajam dengan dilempari batu hingga mati. Maka, ia mau menceraikan Maria secara diam-diam. Alhasil, malaikat Tuhan mengunjunginya dalam mimpi dan meyakinkannya untuk mengambil Maria menjadi istrinya, karena ia mengandung dari Roh Kudus. Ia taat pada perintah Tuhan dan memberi nama Anak yang dikandung Maria, sehingga ia menjadi ayah yang sah dari Yesus sesuai tradisi bangsa Yahudi. Ketaatan Yusuf ini berdasar pada ketulusan hatinya dan kesiapsediaannya bekerja di balik layar. Dengan demikian ia pantas dan layak dijadikan teladan bagi umat beriman dalam tekun mendengarkan dan melaksanakan sabda Allah, ketaatan dalam pengabdian dan kebijaksanaan, bekerja setulus hati dan membagun masa depan penuh harapan.</p>2024-07-27T00:00:00+02:00Copyright (c) 2024 https://ejournal.ust.ac.id/index.php/LOGOS/article/view/3954BERSUKACITA DALAM PENDERITAAN SETURUT TELADAN FAUSTINA2024-07-27T10:22:50+02:00Yohanes Anjar Donobaktijohanesadb2015@gmail.comAgustinus Kuniawanagusk22kurniawan@gmail.comYustinus Slamet Antonoyustinov_ant@yahoo.com<p>Manusia selalu ingin hidup damai, sejahtera, dan penuh sukacita, jauh dari segala penderitaan. Namun, dalam usaha pencarian itu, ia sering tidak menyadari bahwa dirinya justru mengalami penderitaan, kehilangan pegangan hidup, dan mengalami krisis iman. Sehingga tidak jarang relasi antara manusia dan Allah menjadi jauh dan ia merasa ditinggalkan oleh-Nya. Relasi yang renggang antara manusia dan Allah disebabkan oleh kesombongan manusia. Manusia yang sombong menganggap dirinya dapat selamat apabila ia menggunakan kekuatannya sendiri tanpa bantuan dari Allah. Kesombongan manusia sangat bertolak belakang dengan kodratnya yang rapuh dan lemah. Kodrat manusia itu tidak terlepas dari penderitaan. Penderitaan yang menjadi bagian dari hidup harus diterima dan dihadapi. Faustina menyadari dirinya yang rapuh dan lemah tidak terlepas dari penderitaan dalam hidupnya. Tetapi ia dapat menghadapi penderitaannya dengan sukacita. Sukacita dalam penderitaan terjadi karena ia mengalami kehadiran Yesus dalam doa dan karyanya. Kehadiran Yesus itu mengampuni, menghibur, menyembuhkan, dan menyelamatkan. Demikian juga dengan umat manusia yang menerima dan menyatukan penderitaannya bersama penderitaan Yesus, ia dapat mengalami sukacita dalam penderitaan dan dapat mengatasi kesulitan hidupnya setiap hari. Bersukacita dalam penderitaan membuat umat beriman semakin dimurnikan dan bersatu dengan Allah sang sumber Cinta dan Kerahiman.</p>2024-07-27T00:00:00+02:00Copyright (c) 2024 https://ejournal.ust.ac.id/index.php/LOGOS/article/view/3955MEMBANGUN DUNIA YANG TERBUKA UNTUK MENGALAMI HIDUP BERSAUDARA2024-07-27T10:28:18+02:00Sandarut Paulus Tambunansandarutpaulus@gmail.com<p>Dunia zaman sekarang sedang mengalami krisis moralitas. Dampak buruk dari krisis moralitas menimbulkan masalah sosial, seperti kesenjangan dan ketidakadilan sosial. Secara konkret, maalah sosial ini tampak dalam adanya sikap-sikap manusia untuk memanipulasi nilai luhur kehidupan, eksploitasi sosial serta lumpuhnya relasi sosial. Hal ini mengakibatkan ketimpangan sosial yang tampak dengan adanya batasan-batasan sosial, seperti perbedaan antara kaya dengan miskin, penguasa dengan budak serta kelompok sendiri dengan musuh. Oleh karena itu, semakin lama manusia jatuh pada sikap <em>xenophobia </em>dan individualism. Menanggapi realitas tersebut, Paus Fransiskus sebagai pemimpin tertinggi Gereja menegaskan pentingnya membangun dunia yang terbuka untuk mengalami hidup besaurdara. Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki martabat, hak dan kewajiban yang sama untuk mengembangkan hidup bersama. melalui ajaran Gereja, Paus Fransiskus mengajak semua orang untuk membangun dunia yang terbuka dalam persaudaraan universal.</p>2024-07-27T00:00:00+02:00Copyright (c) 2024