https://ejournal.ust.ac.id/index.php/Rajawali/issue/feedRAJAWALI2025-05-05T11:33:31+02:00Open Journal Systems<p>Rajawali adalah Jurnal Filsafat yang memuat kajian akademik tentang proses mencari kebenaran mulai dari manusia berspekulasi dengan pemikirannya tentang semua hal, selanjutnya dari berbagai spekulasi disaring menjadi beberapa buah pikiran yang dapat diandalkan. dan buah pikiran tadi menjadi titik awal dalam mencari kebenaran (penjelajahan pengetahuan yang didasari kebenaran), kemudian berkembang sebagai ilmu pengetahuan, seperti matematika, fisika, hukum, politik, dan lain-lain.</p>https://ejournal.ust.ac.id/index.php/Rajawali/article/view/4777PASKAH YAHUDI DAN PASKAH KRISTEN2025-05-05T11:06:54+02:00Leonardus Ricardo Turnip[email protected]Surip Stanislaus[email protected]<p>Paskah adalah perayaan iman yang sangat penting, baik bagi agama Yahudi maupun agama Kristen. Dalam perayaan Paskah, orang Yahudi dan orang Kristen sama-sama mengenangkan dan menghadirkan kembali karya keselamatan Allah bagi manusia. Paskah Yahudi berakar pada karya penyelamatan Allah bagi bangsa Israel berdasarkan peristiwa <em>exodus</em> dari Mesir. Paskah Kristen berakar pada Paskah Yahudi yang mendapat arti baru dalam kurban salib Kristus. Bagi orang Kristen, kurban salib Kristus memulihkan hubungan manusia dengan Allah sehingga setiap orang dimungkinkan untuk mencapai keselamatan. Dasar atau akar Paskah inilah yang kemudian selalu dirayakan, baik oleh orang Yahudi maupun orang Kristen dalam ritus-ritus keagamaan. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa Paskah Yahudi dan Paskah Kristen merupakan dua perayaan iman yang berbeda, tetapi memiliki keterkaitan, atau bahkan kontinuitas yang dipandang secara sepihak. Maka dari itu, terdapat persamaan sekaligus perbedaan di dalamnya, baik dalam inti perayaan, makna teologis, dan ritus yang dirayakan</p>2025-04-30T00:00:00+02:00Copyright (c) 2025 RAJAWALIhttps://ejournal.ust.ac.id/index.php/Rajawali/article/view/4778KAUM WANITA SEBAGAI PELAYAN LITURGI2025-05-05T11:16:09+02:00Alfredo Siboro[email protected]Hamjani Simbolon[email protected]<p>Peran kaum wanita sebagai pelayan liturgi dalam Gereja Katolik diuraikan melalui pembahasan sejarah perkembangan pelayanan liturgi sejak masa Gereja Perdana, pengaruh budaya patriarkal, serta dasar teologis mengenai imamat umum dan imamat jabatan. Partisipasi wanita dalam pelayanan liturgi dapat dijelaskan berdasarkan pembaruan yang terjadi melalui Surat Apostolik <em>Motu Proprio Ministeria Quaedam</em> dan <em>Spiritus Domini</em>. Bentuk-bentuk pelayanan yang dijalankan oleh kaum wanita mencakup tugas sebagai lektor, akolit, putri altar, pelayan Komuni, dan sebagainya. Refleksi mengenai keterlibatan wanita dalam liturgi dan relevansi pastoralnya juga menjadi bagian dari keseluruhan hidup pelayanan dalam Gereja.</p>2025-04-30T00:00:00+02:00Copyright (c) 2025 RAJAWALIhttps://ejournal.ust.ac.id/index.php/Rajawali/article/view/4779KRITIK SOSIAL KENABIAN YESAYA2025-05-05T11:22:23+02:00Petrus Junisco Timorda Dim[email protected]Surip Stanislaus[email protected]<p>Ketidakadilan adalah salah satu fenomena sosial yang paling sering terjadi. Ketidakadilan dapat terjadi ketika para penguasa atau para pemimpin bertindak semena-mena demi kebutuhan pribadinya. Pihak yang paling rentan terdampak dari ketidakadilan itu adalah kaum kecil atau orang-orang miskin. Akibatnya ketidakadilan menimbulkan kesenjangan yang besar antara orang kaya dan orang miskin. Atas kesenjangan itu, muncullah kritik sosial dari masyarakat yang menginginkan kesejahteraan dan keadilan yang merata. Kritik sosial bertujuan untuk memperbaiki dan mengembalikan hak rakyat serta memberantas terjadinya kekerasan dan penindasan terhadap orang-orang lemah. Kitab Yesaya melukiskan peran seorang nabi utusan Allah yang mengkritik para penguasa dan pemimpin yang telah menjadi sundal atau kehilangan keadilan dan kebenaran. Kritik Yesaya berupa kecaman bahwa Allah akan menghukum mereka karena telah menindas umat-Nya, bangsa Israel. Allah menghendaki supaya semua orang merasakan keadilan dan kebenaran, sehingga terhadap para pemimpin dan penguasa yang menindas kaum miskin, Allah akan menghukum mereka. Hukuman Allah adalah bentuk keadilan dan belas kasih-Nya. Allah tidak semata-mata hanya menghukum bangsa-Nya sendiri dan membinasakan mereka, tetapi Ia menaruh belas kasihan-Nya agar umat mau bertobat dan kembali kepada-Nya. Hukuman menjadi cara bagi Allah untuk memulihkan perjanjian dan hubungan-Nya dengan manusia yang telah rusak lewat dosa yang dilakukannya. Kritik sosial Yesaya mendorong Gereja saat ini untuk memperjuangkan keadilan dan keberpihakan terhadap kaum miskin. Pewartaan kabar gembira kepada kaum miskin adalah tindakan yang luhur dan misi Gereja demi pembebasan umat manusia dari segala bentuk penindasan. Bagi kaum religius, solidaritas terhadap kaum miskin dapat dihayati dan dihidupi melalui kaul kemiskinan. Kaul kemiskinan adalah sarana pewartaan dan cara hidup kaum religius untuk semakin mendekatkan diri pada Kristus yang miskin dan tersalib serta bukti nyata menaruh solidaritas terhadap kaum miskin</p>2025-04-30T00:00:00+02:00Copyright (c) 2025 RAJAWALIhttps://ejournal.ust.ac.id/index.php/Rajawali/article/view/4780NUBUAT MESIANIS DAN PEMENUHANNYA DALAM INJIL MATIUS2025-05-05T11:28:29+02:00Leopold Apri Zendo[email protected]Nora D. Simanjuntak[email protected]<p>Nubuat tentang pengharapan mesianis dan datangnya Mesias sudah ada sejak awal penciptaan. Nubuat ini terus hidup di kalangan bangsa Israel sejak zaman bapa-bapa bangsa, nabi-nabi hingga raja-raja. Bangsa Israel mengimani bahwa YHWH akan menepati janji-Nya dengan mengutus seorang Mesias. Mesias inilah yang akan membebaskan dari tirani penjajahan dan memulihkan keadaan Israel. Pemenuhan janji YHWH ini terjadi dalam diri Yesus. Penginjil Matius memandang Yesus sebagai Anak Allah dan Anak Manusia.</p>2025-04-30T00:00:00+02:00Copyright (c) 2025 RAJAWALIhttps://ejournal.ust.ac.id/index.php/Rajawali/article/view/4781AGAMA CINTA DI ERA POST-SEKULARISME2025-05-05T11:33:31+02:00Haposan Yustinus Sinaga[email protected]<p>Sebelum zaman modern, agama dan Tuhan memiliki peran sentral dalam kehidupan manusia. Selanjutnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menggeser pusat kehidupan manusia dari teosentris menjadi antroposentris, yang menjauhkan manusia dari hal-hal transenden dan menyebabkan agama tersingkir dari ruang publik. Inilah yang disebut sekularisasi, yaitu manusia tidak lagi menempatkan Tuhan sebagai pusat, melainkan dirinya sendiri. Namun, sekularisme tidak mampu menjawab persoalan kontemporer manusia, sehingga agama kembali hadir di ruang publik. Kembalinya agama ini disebut era post-sekularisme, yaitu saat agama kembali tampil setelah sebelumnya disingkirkan. John D. Caputo—filsuf dan teolog Amerika—melalui pendekatan dekonstruktif ala Derrida, menawarkan gagasan “agama cinta”, yang menekankan bahwa inti agama bukan pada klaim kebenaran, melainkan pada tindakan kasih. Seseorang harus terlebih dahulu memahami apa arti mencintai sesuatu sebelum sampai pada pemahaman mencintai Tuhan. Agustinus berkata: “Apa yang aku cintai ketika aku mencintai Tuhanku?” Hal utama dalam beragama adalah perjumpaan dengan Tuhan, yang diwujudkan dalam cinta kasih dan pemaknaan atas nama Tuhan. Caputo mengajukan pendekatan <em>ignorantia</em> sebagai “agama tanpa agama”, yang terdiri dari tiga tahap: (1) “Saya tidak tahu apakah saya percaya kepada Tuhan”, (2) “Saya tidak tahu apakah yang saya percayai itu Tuhan atau bukan”, dan (3) “Apa yang saya cintai ketika saya mencintai Tuhan?” Ketiga pertanyaan ini membawa manusia ke kondisi tidak tahu yang reflektif, hingga mengenal Tuhan dan mengubah arah cintanya dari vertikal menjadi horizontal. Maka, pertanyaannya berubah, yitu bukan lagi “apa yang aku cintai ketika aku mencintai Tuhanku?”, melainkan “bagaimana aku mencintai ketika aku mencintai Tuhanku?” Dari sinilah nama Allah memperoleh makna bukan melalui ancaman, melainkan melalui cinta kasih yang nyata karena Tuhan adalah cinta.</p>2025-04-30T00:00:00+02:00Copyright (c) 2025 RAJAWALI