https://ejournal.ust.ac.id/index.php/SNFT/issue/feedSeminar Nasional Filsafat Teologi2023-05-03T10:33:51+02:00Open Journal Systems<p>Seminar Nasional Filsafat Teologi (SNFT) merupakan seminar nasional terkait dengan disiplin ilmu Filsafat dan Teologi serta penerapannya di bumi pertiwi Negara Kesatuan Republik Indonesia. SNFT membuka peluang dan memberi kesempatan kepada para peneliti, dosen, mahasiswa dan masyarakat umum untuk mempresentasikan dan mendiskusikan baik gagasan maupun hasil penelitiannya dalam sebuah seminar nasional.</p> <p> </p>https://ejournal.ust.ac.id/index.php/SNFT/article/view/2620KETERBUKAAN POLITIK DALAM DEMOKRASI PANCASILA2023-05-03T09:15:43+02:00Lambert D. Watunsuripofmcap66@gmail.comSurip Stanislaussuripofmcap66@gmail.comPetrus J. Timorda Dimsuripofmcap66@gmail.com<p>Keterbukaan politik dalam Demokrasi Pancasila merupakan keterbukaan yang berarti umpan balik di mana rakyat sebagai warga negara memiliki hak untuk mengontrol, mengkritik dan memberikan usul serta saran atau dukungan pemerintah. Pemerintahan dalam melaksanakan pemerintahan harus secara terbuka di hadapan publik, agar publik mampu menilai apakah kebijakan pemerintah menjamin hak-hak warga negara dan menegakkan keadilan, ataukah kebijakan itu hanya untuk melestarikan kekuasaan rezim yang sedang berkuasa atau kelompok orang di sekitar kekuasaan. Perjuangan untuk menegakkan keterbukaan politik dalam kehidupan demokrasi Pancasila sangat penting dalam kehidupan demokrasi. Usaha warga negara yang dilakukan merupakan kebijakan dalam rangka membela nilai-nilai yang sangat berhubungan dengan persoalan hak asasi manusia dan kesejahteraan umum</p>2023-05-03T00:00:00+02:00Copyright (c) 2023 Seminar Nasional Filsafat Teologihttps://ejournal.ust.ac.id/index.php/SNFT/article/view/2621PANCASILA SEBAGAI LANDASAN MORAL KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA2023-05-03T09:24:21+02:00Kristogonus T. Lagnonadeak.gonzales@gmail.comLargus Nadeaknadeak.gonzales@gmail.comYogi Sinuratnadeak.gonzales@gmail.com<p>Pancasila merupakan landasan Moral kebebasan beragama di Indonesia. Nilai itu dimuat secara implisit dalam sila pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa dan diperkuat dalam Pembukaan UUD 1945. Karena Pengakuan akan Ketuhanan dimuat dalam dasar negara, maka paham tersebut dijadikan panduan hidup bangsa. Bangsa Indonesia percaya bahwa kebebasan beragama mempunyai dasar pada kodrat manusia dan iman itu sendiri. Implikasi moralnya ialah bahwa setiap orang bebas memilih, mengganti, dan mengamalkan ajaran agamanya sesuai dengan keyakinannya, sejauh tidak mengganggu hak orang lain. Umat beriman juga wajib menghormati agama orang lain dalam toleransi dan tidak diperkenankan memaksakan hak orang lain. Jika dilakukan pemaksaan, maka sama halnya dengan melunturkan cita-cita Pancasila. Dalam hal ini, Departemen agama memiliki tugas khusus untuk menjamin kehidupan beragama sebagaimana diamanatkan Pancasila dan UUD 1945. Akan tetapi diperlukan juga kesadaran berbangsa dan beragama setiap umat beragama dalam menjamin kebebasan beragama. Sehingga, setiap warga tampak dengan saling menghargai, menghormati dan akhirnya tercipta kerukunan hidup setiap warga</p>2023-05-03T00:00:00+02:00Copyright (c) 2023 Seminar Nasional Filsafat Teologihttps://ejournal.ust.ac.id/index.php/SNFT/article/view/2622KETUHANAN YANG MAHA ESA2023-05-03T09:29:50+02:00Indriyono A. Tumanggorjohanesadb2015@gmail.comYohanes A. Donobaktijohanesadb2015@gmail.comYogi Sinuratjohanesadb2015@gmail.com<p>Sila pertama Pancasila berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan Yang Maha Esa berarti pengakuan adanya Tuhan yang sempurna. Ketuhanan dalam konteks Pancasila tidak tinggal dalam konsep melainkan diwujudkan dalam sikap dan perilaku. Pancasila harus diaplikasikan karena merupakan konsekuensi logis sebab meletakkannya sebagai dasar negara. Selain itu, pelaksanaan Ketuhanan dalam praksis hidup juga merupakan tanggung jawab pribadi kepada bangsa dan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pelaksanaan ini membutuhkan hubungan yang baik antara agama dan negara. Oleh karena itulah Sila Ketuhanan bersifat luhur. Sifat ini tertuang secara eksplisit dalam UUD 1945 pasal 29. Sifat ini menuntut pemerintah dan warga negara untuk menghormati pluralisme suku, agama, dan golongan.</p>2023-05-03T00:00:00+02:00Copyright (c) 2023 Seminar Nasional Filsafat Teologihttps://ejournal.ust.ac.id/index.php/SNFT/article/view/2624KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB MENURUT PANCASILA2023-05-03T09:35:26+02:00Genesius Nurakmarmidiscj@gmail.comF.X. Marmidimarmidiscj@gmail.comCarolus A. Sihalohomarmidiscj@gmail.com<p>Masyarakat Indonesia membentuk kehidupan bersama dengan suatu landasan dasar yang disebut Pancasila. Perwujudan masyarakat Indonesia yang pancasilais adalah sasaran utama ajaran Pancasila. Ajaran tentang manusia Pancasilais tersebut termuat dalam sila kedua Pancasila, yakni: kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila kedua ini mengakui dan memperlakukan manusia sesuai harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan. Ajaran sila kedua itu merupakan tuntunan dan pegangan dalam mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara serta menjadi prinsip pengakuan dan penghormatan terhadap martabat manusia. Penghormatan dan pengakuan ini menunjukkan bahwa manusia mempunyai martabat yang lebih tinggi dari makhluk ciptaan lain. Kekhasan manusia ini terarah pada ciri-ciri kemanusiaan yang adil dan beradab, yaitu integral, etis, dan religius. Kondisi ini menjamin perwujudan manusia Pancasilais yang utuh baik sebagai pribadi otonom, pribadi sosial maupun sebagai makhluk Tuhan. Ajaran sila kedua mencapai tujuannya sejauh manusia Indonesia mau menempatkan kembali keagungan manusia dalam nilai yang mutlak, yakni: sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang mempunyai harkat dan martabat yang tinggi. Namun sejauh kesadaran ini belum dipahami seara mendalam, perwujudan cita-cita manusia Pancasilais yang sesuai dengan ajaran sila kemanusiaan yang adil dan beradab tidak akan tercapai. Dengan ini makna ajaran Pancasila perlu dikaji kembali oleh manusia Indonesia</p>2023-05-03T00:00:00+02:00Copyright (c) 2023 Seminar Nasional Filsafat Teologihttps://ejournal.ust.ac.id/index.php/SNFT/article/view/2625PERSATUAN KEBANGSAAN INDONESIA2023-05-03T09:40:53+02:00Mikael Asakjohanesadb2015@gmail.comYohanes A. Donobaktijohanesadb2015@gmail.comPaulinus D. Candrajohanesadb2015@gmail.com<p>Suatu bangsa dapat lahir dan terbentuk, namun dapat juga menjadi pecah. Suatu bangsa adalah komunitas yang digagas dengan suatu landasan fundamental. Suatu bangsa tidak dibentuk oleh Tuhan, juga tidak dilahirkan oleh alam. Suatu bangsa merupakan komunitas hidup bersama yang lahir dan terbentuk melalui proses bersatunya sekelompok manusia yang memiliki kehendak untuk hidup bersama. Bangsa Indonesia lahir melalui proses hidup komunitas bersama. Bersatunya masyarakat pluralis didasarkan pada empat faktor yakni, kehendak untuk hidup bersama, pengalaman senasib, secita-cita, dan keterikatan pada daerah tertentu. Pengalaman dan cita-cita yang sama mendorong masyarakat pluralis yang telah lama memiliki keterikatan pada wilayah Republik Indonesia bersatu dalam kebangsaan Indonesia. Itulah dasar lahir dan terbentuknya bangsa Indonesia.</p>2023-05-03T00:00:00+02:00Copyright (c) 2023 Seminar Nasional Filsafat Teologihttps://ejournal.ust.ac.id/index.php/SNFT/article/view/2627KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN PERWAKILAN2023-05-03T09:47:06+02:00Osbin Samosirlautan@kapusin.orgLaurentius Tinambunanlautan@kapusin.orgRobertus Septiandrylautan@kapusin.org<p>Sila ke empat Pancasila merupakan pedoman demokrasi Indonesia. Demokrasi atau disebut juga dengan kerakyatan, berarti meletakkan posisi rakyat pada tempat semestinya. Apa artinya? Artinya, bahwa pemegang kekuasaan tertinggi adalah rakyat, bukan yang mewakilinya. Sebagai salah satu sila Pancasila, yang merupakan ideologi negara, segala bentuk pelaksanaan demokrasi kita haruslah selalu berlandaska sila IV. Apabila setiap pelaksanaan demokrasi berlandaskan sila IV ini, tentu kita tidak akan menemukan kesulitan dan cita-cita demokrasi itu akan sungguh kita genggam. Mengapa demikian? Alasannya, sila IV itu sungguh luhur sekaligus ia sudah memiliki akar yang panjang dalam peradaban nenek moyang bangsa Indonesia. Mengapa sil IV disebut luhur? Jawabannya menyangkut dua hal yakni, dari sifat hierarkis-piramidal dan uraian sila IV itu sendiri. sifat hierarkis piramidal sila-sila Pancasila menempatkan kerakyatan memiliki dasar utama, yakni Ketuhanan sebagai dasar moral. Lalu, menyusul dasar pengakuan kemanusiaan dan dasar persatuan Indonesia. dan, tujuan kerakyatan adalah menciptakan keadilan sosial. Dari segi uraiannya, sila ini disebut luhur karena berpegang pada hati nurani dan akal budi yang sehat.</p>2023-05-03T00:00:00+02:00Copyright (c) 2023 Seminar Nasional Filsafat Teologihttps://ejournal.ust.ac.id/index.php/SNFT/article/view/2628REALISASI SILA KEADILAN SOSIAL PANCASILA2023-05-03T09:53:58+02:00Adiwijaya Adiwijayasuripofmcap66@gmail.comSurip Stanislaussuripofmcap66@gmail.comRobertus Septiandrylautan@kapusin.org<p>Keadilan adalah dambaan setiap kehidupan bangsa. Keadilan tercapai apabila prinsip keadilan sosial dipatuhi bersama dalam seluruh kehidupan suatu bangsa. Keadilan sosial adalah suatu keadilan yang mengatur hubungan timbali-balik antara negara dan warga. Negara wajib memberikan hak kepada warganya, dan warga wajib memberikan negara apa yang menjadi haknya, yaitu memajukan kesejahteraan umum. Setiap warga negara harus memberikan sumbangsih berupa tenaga, pikiran, dan segala hasil pekerjaan dan pendapatan demi kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum itu akan menampakkan hadirnya keadilan sosial dalam suatu negara. Indonesia memiliki Pancasila yang memuat nilai dasar kehidupan bangsa, salah satunya adalah keadilan sosial. Maka keadilan sosial dalam Pancasila harus selalu diperhatikan perwujudannya agar kesejahteraan umum seluruh masyarakat Indonesia dapat terjamin.</p>2023-05-03T00:00:00+02:00Copyright (c) 2023 Seminar Nasional Filsafat Teologihttps://ejournal.ust.ac.id/index.php/SNFT/article/view/2629RASIONALITAS KEPATUHAN DAN PEMBANGKANGAN TERHADAP KEKUASAAN POLITIK2023-05-03T10:03:43+02:00Laurentius Tinambunanlautan@kapusin.org<p>Hidup dalam kuasa negara adalah kenyataan yang hampir tidak terhindarkan dewasa ini. Setiap orang, suka atau tidak suka masuk dalam satu lingkup otoritas politik yang semakin dalam menyentuh kehidupan pribadi. Dengan kata lain, kebebasan pribadi semakin berkurang. Di pihak lain, kepatuhan terhadap negara berdampak juga terhadap jaminan kebebasan yang dinikmati warga negara. Di sinilah letak paradoks hidup bernegara, yaitu terjaminnya kebebasan di satu pihak dan tersedotnya sebagian kebebasan oleh negara di pihak lain. Karena itu pentinglah menemukan dasar yang masuk akal dari kepatuhan warga negara. Seiring dengan itu pantas pula ditanyakan rasionalitas pembangkangan atau protes oleh warga negara terhadap pemerintah. Terlepas dari beragamnya paradigma politik yang menawarkan corak dan hakekat negara, kiranya satu hal pantas disebut sebagai unsur penting, yaitu kehadiran negara dalam kehidupan warganya. Kehadiran berarti adanya manfaat yang nyata dirasakan masyarakat dari kepatuhannya terhadap negara baik dalam keadaan yang biasa maupun luar biasa termasuk pemberlakuan hukum secara adil. Pemerintah atau pemegang mandat otoritas politik, sebagai representasi negara, bertugas mewujudnyatakan kehadiran negara dalam dinamika dan suka-duka warga negara. Kehadiran seperti ini dengan sendirinya menumbuhkan cita rasa nasionalisme dan kepatuhan warga negara. Sebaliknya, ketidakhadiran yang berkelanjutan akan menyuburkan sikap apatisme bahkan pembangkangan.</p>2023-05-03T00:00:00+02:00Copyright (c) 2023 Seminar Nasional Filsafat Teologihttps://ejournal.ust.ac.id/index.php/SNFT/article/view/2630PENGARUH MODAL SOSIAL UNTUK KERUKUNAN UMAT BERAGAMA ISLAM DAN KRISTEN DI KOTA MEDAN2023-05-03T10:12:04+02:00Godlif Sianipargodlif@yahoo.com<p>Relasi tidak harmonis antar umat beragama khususnya antara Kristen dan Islam menjadi keprihatinan yang mendalam saat ini. Indonesia, sebagai salah satu negara demokratis di dunia ini, juga mengalami relasi antar umat beragama yang tidak harmonis tersebut. Dalam dua dasawarsa terakhir ini ketidakharmonisan relasi tersebut menghangat hingga pada satu titik dimana kekerasan atas nama agama dianggap wajar. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan Teori Multikultur untuk menganalisa masalah ketidak-harmonisan dan memajukan usaha kerukunan relasi tersebut. Partisipan yang terlibat dalam penelitian ini adalah orang Batak yang telah menikah dan tinggal di Medan. Nilai-nilai kekeluargaan dalam sistem sosial orang Batak <em>Dalihan na tolu</em> diteliti bersamaan dengan nilai-nilai agama. Sebuah model relasi umat beragama diciptakan yang berdasarkan pada data kuantitatif dari 1.539 partisipan. Sekalipun pada awalnya penelitian ini menggunakan <em>mixed methods</em>, namun di sini dilaporkan hasil analisa data kuantitatif saja. Penelitian ini menemukan bahwa pengaruh budaya berpengaruh lebih kuat daripada pengaruh agama itu sendiri dalam memajukan kerukunan umat beragama Kristen dan Islam di kota Medan. <em>Dalihan na tolu</em>, suatu sistem sosial orang Batak dan yang sekaligus telah menjadi modal sosial orang Batak yang tinggal di kota Medan, berperan membantu mewujudkan kerukunan relasi di antara orang Batak yang beragama Kristen dan Islam. Ketika beberapa ajaran agama menjadi penghalang mewujudkan relasi yang harmonis, nilai-nilai kekeluargaan di kalangan orang Batak yang terkandung dalam <em>Dalihan na tolu</em> mentransformasikan nilai-nilai agama tersebut. Kesimpulannya adalah bahwa penelitian ini mengusulkan untuk mengedepankan penggunaan nilai-nilai komunal untuk mewujudkan relasi kerukunan beragama yang harmonis di Indonesia pada umumnya dan di kota Medan pada khususnya.</p>2023-05-03T00:00:00+02:00Copyright (c) 2023 Seminar Nasional Filsafat Teologihttps://ejournal.ust.ac.id/index.php/SNFT/article/view/2631MODERASI BERAGAMA MENUJU PERSAUDARAAN MANUSIAWI SEJATI2023-05-03T10:19:25+02:00Henrikus Ngambut Obatuangguru@yahoo.com<p>Moderasi beragama pada dasarnya adalah cara memeluk agama sesuai dengan nilai-nilai fundamental ajaran agama. Moderasi beragama bukan mengubah agama tetapi berusaha memper-kenalkan nilai-nilai hakiki tersebut dengan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan tidak berpihak pada orang atau kelompok tertentu saja tetapi Dia menghendaki semua orang mengenal-Nya dan memperoleh hidup yang kekal. Wajah agama (Tuhan) dari hakikatnya adalah sejuk, adem, membahagiakan dan menghidupkan. Hal itu sejatinya ditampilkan juga oleh para pemeluk agama-agama sehingga terciptalah persaudaraan manusiawi sejati.</p>2023-05-03T00:00:00+02:00Copyright (c) 2023 Seminar Nasional Filsafat Teologihttps://ejournal.ust.ac.id/index.php/SNFT/article/view/2632WAWASAN KEBANGSAAN PRASYARAT TERJAGANYA PERSATUAN-KESATUAN BANGSA DAN KEUTUHAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA2023-05-03T10:26:22+02:00E. Imam Maksudi imamaksudi45@gmail.com<p>“NKRI harga mati” adalah pilihan final yang tidak ingin diubah lagi dengan alasan dan cara apa pun. Semboyan ini juga mengandung semangat patriotik untuk tetap bersatu dan siap mempertahankan NKRI dengan segala konsekuensinya. Oleh karena itu, setiap WNI harus memiliki Wawasan Kebangsaan yang utuh, satu dan benar untuk menggapai cita-cita dan tujuan nasional kita berbangsa dan bernegara atas dasar Pancasila dan UUD 1945, dengan sesanti Bhineka Tunggal Ika, dan hidup dalam keutuhan NKRI. Pemahaman yang utuh, satu dan benar tentang Wawasan Kebangsaan ini akan memampukan kita menjawab persoalan bangsa di era globalisasi ini dan membangun kehidupan bersama secara harmoni. Disamping dampak positif, globalisasi juga membawa dampak negatif, yakni keterbukaan dan kebebasan yang melanggar norma-norma sosial dan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa. Dengan demikian perlu Wawasan Kebangsaan yang utuh, satu dan benar demi mengantisipasi dan mencegah sejak dini datangnya bahaya yang mengancam kehidupan berbangsa dan keutuhan NKRI.</p>2023-05-03T00:00:00+02:00Copyright (c) 2023 Seminar Nasional Filsafat Teologihttps://ejournal.ust.ac.id/index.php/SNFT/article/view/2633HUKUM, NASIONALISME, DAN KEBANGSAAN SERTA URGENSI MEMAHAMI HUKUM 2023-05-03T10:33:51+02:00Yosepha Sri Suarisrisuari13@gmail.com<p>Indonesia adalah negara hukum, sehingga segala hal yang terkait kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk kewarganegaraan diatur dalam undang-undang. Indonesia pun negara pluralis baik agama, budaya maupun suku bangsanya yang dapat menghadirkan tantangan dan peluang bagi kesatuan dan keutuhan bangsa. Oleh karena itu, setiap warga negara harus memahami hukum dan perundang-undangan yang mengatur negaranya, sehingga Wawasan Kebangsaan dan Nasionalisme semakin bertumbuh-kembang. Konsekuensinya, sebagai WNI para pastor dan calon pastor pun harus memahami hukum dan perundang-undangan negara minimal perihal: 1) Undang-undang dan aspek hukum yang terkait kehidupan seorang pastor; 2) Relevansi UU Perlindungan Anak bagi para pastor dalam tugas pelayanan Gereja dan masyarakat; 3) Fenomena dan problematika aktual di tengah masyarakat terkait pelanggaran hukum; 4) Sikap Gereja terhadap pelanggaran UU khususnya UU Perlindungan Anak; 5) Peran para pastor sebagai tokoh agama dan masyarakat dalam menerjemahkan pesan dan semangat UU terutama UU Perlindungan Anak.</p> <p> </p>2023-05-03T00:00:00+02:00Copyright (c) 2023 Seminar Nasional Filsafat Teologi